Rabu, 13 Maret 2013

“Pertentangan Yurisdiksi dalam Penyelesaian Cyber Crime”


Sistem Hukum Indonesia

Oleh

Nama                                 :              Apriana D.P. Laahana
NIM                              :              1103021019
Dosen Wali                  :              Drs. Markus Bunga, M.sc., Agr
Jurursan/Semester :              Administrasi Bisnis/III


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Sistem Hukum Indonesia “Pertentangan Yurisdiksi dalam Penyelesaian Cyber Crime” dengan baik.
Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada dosen pengasuh mata kuliah yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam proses pembuatan makalah ini hingga selesai, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan penulisan berikutnya. Atas perhatiannya diucapkan terimakasih

                                                                                                               


Kupang, Desember 2012

Penulis













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA
BAB. I. PENDAHULUAN
1.1.           Latar Belakang.............................................................................................1
1.2.           Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3.           Tujuan Penulisan..........................................................................................2
1.4.           Manfaat Penulisan........................................................................................2

BAB. II. PEMBAHASAN
A.                Pengertian Cyber Crime.............................................................................3
B.                 Pengertian Yurisdiksi.................................................................................3
C.                 Pemahaman Cyber Crime sebagai kejahatan.............................................4
D.                Jenis-Jenis Cyber Crime............................................................................5
E.                 Cyber Crime dalam Dunia Bisnis..............................................................7
F.                  Pengaturan tentang Cyber Crime dalam Sistem Hukum di Indonesia....9
G.                Permasalahan Yurisdikesi dalam Penyelesaian Kasus Cyber Crime.....12

BAB. III. PENUTUP
Ø  Kesimpulan.....................................................................................................15
Ø  Saran...............................................................................................................16







BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Teknologi informasi saat ini sudah bersifat global, terutama dengan digunakannya internet. Globalisasi yang timbul sudah menyatu dengan berbagai aspek kehidupan, baik di bidang sosial, iptek, kebudayaan, ekonomi dan nilai-nilai budaya lain. Kemajuan teknologi informasi khususnya media internet, dirasakan banyak memberikan manfaat seperti dari segi keamanan, kenyamanan dan kecepatan. Contoh sederhana, dengan dipergunakan internet sebagai sarana pendukung dalam pemesanan/reservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, telah membuat konsumen semakin nyaman dan aman dalam menjalankan aktivitasnya.
Kecepatan melakukan transaksi perbankan melalui e-banking, memanfaatkan e-commerce untuk mempermudah melakukan pembelian danpenjualan suatu barang serta menggunakan e-library dan e-learning untuk mencari referensi atau informasi ilmu pengetahuan yang dilakukan secara online karena dijembatani oleh teknologi internet baik melalui komputer atau pun hand phone. Pemanfaatan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif  yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada.
Internet membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman, pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan hingga tindak pidana terorisme kini melalui media internet beberapa jenis tindak pidana tersebut dapat dilakukan secara online oleh individu maupun kelompok dengan resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun Negara.
Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi banyak mempengaruhi berbagai jenis kejahatan yang ada, dan dimungkinkan muncul jenis kejahatan baru seiring dengan perkembangan yang timbul. Fenomena tindak pidana teknologi informasi merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional. Tindak pidana teknologi informasi muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi.
Berbagai jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat, termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu dunia maya, dengan kata lain dunia tanpa batas (borderless). Melalui internet dapat menjelajah berbagai situs yang ada, melewati batas suatu negara.
Apabila kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung berhubungan dengan yuridiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum diwilayahnya.Oleh karena itu dalam penyelesaian kasus kejahatan cyber, ada berbagai kendala yang sering kali ditemui oleh penegak hukum suatau negara untuk menindak pelaku kejahatan yang berada di wilayah yurisdiksi negara lain. Karena perlu adanya penjelasan mengenai pelakasanaan penegakan hukum kasus cyber crime ini.

1.2.  Rumusan Masalah
Ø  Apakah yang dimaksud dengan Cyber Crime?
Ø  Bagaimanakah penyelesain pertentangan yuridiksi dalam kasus cyber crime?

1.3.  Tujuan Penulisan
ü  Menjelaskan tentang pengertian Cyber Crime.
ü  Menjelaskan tentang penyelesaian pertentangan Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime.

1.4. Manfaat Penulisan
·           Dapat memberikan penjelasan tentang pengertian Cyber Crime.
·            Dapat memberikan penjelasan tentang penyelesaian Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime.






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Cyber Crime
Berbicara masalah cyber crime tidak lepas dari permasalahan keamanan jaringan komputer atau keamanan informasi berbasis internet dalam era global ini, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan informasi sebagai komoditi. Informasi sebagai komoditi memerlukan kehandalan pelayanan agar apa yang disajikan tidak mengecewakan pelanggannya. Untuk mencapai tingkat kehandalan tentunya informasi itu sendiri harus selalau dimutakhirkan sehingga informasi yang disajikan tidak ketinggalan zaman. Kejahatan dunia maya (cyber crime) ini muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. 
Untuk lebih mendalam ada beberapa pendapat di bawah ini tentang apa yang dimaksud dengan cyber crime? Di antaranya adalah :
·      Menurut Kepolisian Ingris, Cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.
·      Indra Safitri mengemukakan  bahwa kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.

B.       Pengertian Yurisdiksi
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain.

Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”.Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.  
Menurut Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :
a.     Hak, kekuasaan, dan kewenangan.
b.    Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
c.     Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).
d.    Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern).
e.     Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).

C.      Pemahaman Cyber Crime Sebagai Kejahatan
Cybercrime terdiri dari dua kata, yakni cyber dan crime. Kata cyber merupakan singkatan dari cyberspace, yang berasal dari kata cybernetics dan space Istilah cyberspace muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam novel William Gibson yang berjudul Neuromancer.
Pada mulanya istilah cyberspace tidak ditujukan untuk menggambarkan interaksi yang terjadi melalui jaringan komputer. Pada tahun 1990 oleh John Perry Barlow istilah cyberspace diaplikasikan untuk dunia yang terhubung atau online ke internet.
Cyberspace merupakan sebuah ruang yang tidak dapat terlihat. Ruang ini tercipta ketika terjadi hubungan komunikasi yang dilakukan untuk menyebarkan suatu informasi, dimana jarak secara fisik tidak lagi menjadi halangan.Sedangkan crime berarti kejahatan. Kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan masyarakat serta bertentanggan dengan moral masyarakat. Terdapat beberapa pendapat pakar yang dapat menggambarkan dengan jelas seperti apa kejahatan siber itu, yakni:

ü Ari Juliano Gema,
Kejahatan siber adalah kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet.
ü Indra Safitri
Kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik kejahatan siber adalah:
  1. Perbuatan anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi informasi tanpa batas.
  2. Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi. Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet.
  3. Perbuatan tersebut merugikan dan menmbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta bertentangan dengan moral masyarakat
  4. Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum.
D.      Jenis-jenis Cyber Crime
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain:
1)   Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.
2)   Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau menganggu ketertiban umum.
3)   Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan.

4)   Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan matamata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.

5)   Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus computer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

6)   Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.

7)   Infringements of Privacy
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.

E.       Cyber Crime dalam Dunia Bisnis
Hampir setiap hari masyarakat memanfaatkan kemudahan internet dalam melakukan berbagai aktivitas rutin, seperti melakukan transaksi jual beli melalui situs-situs online. Bila dulu masyarakat lebih senang berbelanja dengan sistem konvensional untuk melakukan transaksi jual beli, sekarang ini masyarakat lebih memilih cara yang praktis dengan memesan produk ataupun jasa melalui situs online yang memberikan pelayanan cepat dan mudah kepada para konsumennya selama full 24 jam nonstop.
Hanya bermodalkan jaringan internet, semua orang dapat menggunakan website, blog maupun situs jejaring sosial untuk menjalankan bisnis online dan melakukan transaksi secara online. Namun, mudahnya pemasaran dan transaksi dalam bisnis online menjadi salah satu faktor munculnya penipuan dalam bisnis ini. Tidak sedikit pelaku bisnis online baik produsen maupun konsumen mengalami penipuan online dengan berbagai modus kejahatan, baik itu dalam bentuk perampasan uang maupun kehilangan barang.
Dampak negatif dari penipuan bisnis online pun sampai ke dunia internasional, sehingga reputasi Indonesia di mata internasional terkait bisnis online cukup memprihatinkan. Berdasarkan data dari Cybercrime BareskrimPolri, ada 18 negara asing yang mengkomplain Indonesia gara-gara melakukan penipuan bergaya online. Negara yang itu di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Malaysia, Singapura, Eropa Timur dan Australia. Sedangkan berdasarkan forum atau lembaga statistik yang mencatat jumlah daftar bisnis online Indonesia, orang yang telah berbuat scam (scammers) atau telah melakukan penipuan sudah mencapai 100.000 website lebih.
Kemudahan itu juga sangat menguntungkan bagi oknum yang tidak bertanggungjawab. Karena mereka memanfaatkan kemudahan registrasi data pemilik website, blog maupun situs jejaring sosial yang dapat dipalsukan, jadi jejak kejahatan mereka sulit untuk ditemukan sebab mereka sering menggunakan data diri yang palsu. Sipelaku penipuan juga bisa mengakses internet atau menjalankan kejahatannya dari negara lain.
Pada umumnya, situs–situs online hanya berperan sebagai wadah atau penghubung antara penjual dan pembeli. Jika terjadi aksi penipuan, maka situs tersebut tidak bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban penipuan. Situs hanya menyiapkan mekanisme pencegahan agar tidak terjadi transaksi yang merugikan pihak lain.
Para pelaku bisnis online dituntut untuk lebih teliti dalam menjalin kerjasama, pastikan pilih yang sudah memiliki reputasi cukup bagus di dunia online. Bagi produsen, dalam menjalankan bisnis online sebaiknya berhati-hati dan mewaspadai untuk memilih situs yang menyewakan hosting dan domain yang ada di internet. Sedangkan untuk konsumen, agar tidak tertipu oleh penjual yang tidak bertanggungjawab, penelitian alamat website lengkap melalui google dan lihat pula respon konsumen yang ada di website tersebut.
Sebagian besar bisnis online yang ditawarkan memang bisnis yang riil. Namun belakangan ini penipuan di dunia online semakin mengkhawatirkan. Disini dibutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi agar terhindar dari modus-modus penipuan yang dilancarkan. Karena bagaimapun bisnis online sudah menjadi sebuah solusi yang sangat membantu bagi sebagian orang yang punya keterbatasan waktu dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Begitu banyak peluang bisnis online yang ditawarkan di internet merupakan scam(penipuan). Banyak sekali laporan-laporan di internet mengenai korban Scammers. Pada umumnya scammers memilih orang-orang yang ingin cepat kaya, menghasilkan banyak uang atau profit dalam waktu sekejap tanpa adanya usaha kerjakeras (easy money). Contoh modus jenis-jenis bisnis online seperti:
·         Scam berkedok pelelangan. Yang sering terjadi di situs-situs pelelangan seperti eBay.com. Banyak dari buyer diberitahukan bahwa telah memenangkan sebuah tawaran, dan barang yang telah dibayarkan tidak pernah kunjung datang.
·         Multi Level Marketing (MLM). Tidak semua jenis bisnis ini adalah scam, namun jika mereka tidak punya produk atau jasa, dan hanya mencari anggota untuk bergabung maka kemungkinan besar adalah scam.
·         Lottery Scams. Sering ditemukan pada salah satu situs di menu Popup-nya berisi “selamat anda telah memenangkan undian dan berhasil mendapatkan ( PS3, iphone, laptop, dsb)” . Biasanya mereka meminta mengunjungi situsnya, menyuruh mengisi form atau nomor kartu kredit beserta pin. 
·         High Yield Investment Program (HYIPs). Mereka meminta netters untuk berinvestasi, dengan janji keuntungan akan berlipatganda dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini biasanya melibatkan kerjasama investasi dalam beberapa jenis “proyek jangka panjang” 6 bulan sampai 1 tahun dengan profit yang ditawarkan besar sekali.
·         Phishing Scams. Email yang seolah dating dari Bank atau rekening online lainnya dan meminta penerimanya untuk login lalu meverifikasi account. Bila dilakukan, kemungkinan rincian login akan direkam dan dijual kepada orang lain.

F.       Pengaturan Tentang Cyber Crime dalam Sistem Hukum di Indonesia
Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai cyber crime walaupun rancangan undang undang tersebut sudah ada sejak tahun 2000 dan revisi terakhir dari rancangan undang-undang tindak pidana di bidang teknologi informasi sejak tahun 2004 sudah dikirimkan ke Sekretariat Negara RI oleh Departemen Komunikasi dan Informasi serta dikirimkan ke DPR namun dikembalikan kembali ke Departemen Komunikasi dan Informasi untuk diperbaiki.
Sebagai langkah preventif  terhadap segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang komputer khususnya cyber, sedapat mungkin dikembalikan pada peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan peraturan di luar KUHP. Pengintegrasian dalam peraturan yang sudah ada berarti melakukan suatu penghematan dan mencegah timbulnya over criminalization, tanpa mengubah asas-asas yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat-akibat sampingan yang dapat mengganggu perkembangan teknologi informasi.
Ada beberapa hukum positif yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cyber crime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarananya.
v  Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan terhadap Pasal-Pasal yang ada dalam KUHP.

v Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 
Program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun.
Program komputer/software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah. Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp 20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping.
Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

v  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999:  “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya”.
Apabila melakukan hal yang melanggar ketentuan diatas, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

v  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD-ROM), dan Write - Once -Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.


v  Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.

v  Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf  b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet.
 
v  Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Cybercrime menjadi isu yang menarik dan kadang menyulitkan karena:
a. Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial negara
b. Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud
c. Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik
d. Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi
e. Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat.

G.      Permasalahan Yurisdiksi dalam Penyelesaian Kasus Cybercrime
Kemajuan teknologi informasi yang cepat selalu menimbulkan suatu permasalahan terutama di bidang hukum pidana, sementara di satu sisi hukum seringkali tertinggal jauh di banding dengan kemajuan teknologi. Dengan menggunakan internet muncul pula komunitas masyarakat yang berbeda dengan yang sudah ada selama ini, komunitas masyarakat internet dapat pula disebut sebagai “cybercommunity”.
Memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi , dapat dikatakan internet adalah suatu sistem jaringan yang terdiri dari berbagai macam komunitas, sehingga peserta atau anggota komunitas dapat membuat dan mendefinisikan hukum yang tepat untuk komunitas mereka. Masaki Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional, untuk menganalisa permasalahan dalam cyber jurisdiction.

1) Yurisdiksi legislatif  (Jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi legislatif adalah wewenang negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan keadaan yang ada. Dalam keterkaitannya dengan internet, muncul pertanyaan ialah negara mana yang berwenang terhadap kegiatan atau orang di dunia cyber?. Menimbulkan suatu permasalahan yaitu “choice of law”. 

2) Yurisdiksi untuk mengadili ( Jurisdiciton to adjudicate)
Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk melakukan proses pemeriksaan pengadilan , dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul adalah “choice of forum”.

3) Yurisdiksi untuk melaksanakan  (Jurisdiction to enforce)
Yurisdiksi untuk melaksanakan berhubungan dengan wewenang suatu negara untuk melakukan penghukuman terhadap terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui pengadilan atau melalui tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif).

Pada prinsipnya, ada tiga jenis yurisdiksi yang selama ini sudah dikenal tetap digunakan sebagai landasan untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam. Ketiga yurisdiksi tersebut yaitu :
1) Yurisdiksi legislatif yaitu kewenangan membuat hukum (jurisdictionto prescribe);
2) Yurisdiksi judisial yaitu kewenangan untuk mengadili (jurisdiction toadjudicate);
3) Yurisdiksi pelaksanaan yaitu kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan (jurisdiction to enforce).

Alasan yang mendasari tetap digunakannya ketiga jenis yurisdiksi tersebut, karena “dari berbagai kasus kejahatan internet, apabila pelaku dapat ditangkap oleh polisi, akan diterapkan hukum negara di mana si pelaku tertangkap. Artinya, digunakan hukum dari negara di mana ia melakukan tindak pidana tersebut”. Disusunnya suatu kebijakan legislatif oleh suatu negara adalah merupakan bagian dari kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan sosial. Kebijakan legislatif dalam hal dilarangnya segala bentuk atau hal yang berhubungan dengan pornografi anak, mulai dari memiliki, mendistribusikan, menyimpan, menjual, karena didasarkan pada upaya perlindungan terhadap masyarakat . 
Para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebaiknya didukung oleh sarana dan prasarana yang mendukung, melebihi kemajuan teknologi informasi yang digunakan oleh pelaku kejahatan cyber. Apabila dikaji secara mendalam, rumusan pasal 25 RUU-PTI merupakan adaptasi dari “effect test”, yaitu dalam kalimat:”…yang melakukan perbuatan hukum yang akibatnya dirasakan diIndonesia.Hal ini berarti bahwa efek dari perbuatan atau kejahatan cyber tersebut dirasakan di Indonesia, sehingga Indonesia dapat menerapkan ketentuan pidananya berdasar pasal 25 dan pasal 26 RUU - PTI.  
Menurut Soedarto, untuk menuntut seseorang di depan pengadilan perihal tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya tindak pidana. Ketentuan tentang waktu diperlukan untuk menentukan apakah undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap tindak pidana itu, sedang ketentuan tentang tempat diperlukan untuk menetapkan apakah undang-undang pidana Indonesia dapat diperlakukan dan juga pengadilan mana yang berkompeten untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut (kompetensi relatif). Untuk menetapkan locus delicti, ada 3 teori yaitu :

a) Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah)
Tempat tindak pidana ditentukan oleh perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh pembuat dalam mewujudkan tindak pidana itu. Untuk delik formil teori ini dapat digunakan dengan baik, akan tetapi untuk delik materiil dan ada kalanya juga untuk delik formilpun teori ini sulit diterapkan. Contoh kesulitan dalam delik formil ialah apabila ada orang di luar Indonesia dengan perantaraan surat kabarr Indonesia melakukan penghinaan.

b) Teori instrumen (alat)
Tempat terjadinya delik ialah tempat bekerjanya alat yang dipakai si pembuat. Alat ini bisa berupa benda atau orang, asalkan orang ini tidak dapat dipertanggung jawabkan.

c) Teori akibat
Ukuran untuk locus delicti adalah tempat terjadinya akibat di dalam delik itu. Misalnya dalam penipuan, delik ini selesai apabila si korban menyerahkan barangnya; si pembuat dapat saja bertempat di daerah kekuasaan pengadilan lain.

Melihat mengenai cara penetapan locus delicti yang dikemukakan Soedarto, pada pasal 25 RUU-PTI digunakan teori akibat. 















BAB III
PENUTUP


Ø  Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
a.    Terdapat beragam pemahaman mengenai cybercrime.
Namun bila dilihat dari asal katanya, cybercrime terdiri dari dua kata, yakni cyber dan crime. Kata cyber merupakan singkatan dari cyberspace, yang berasal dari kata cybernetics dan space Istilah cyberspace muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam novel William Gibson yang berjudul Neuromancer.
b. Karakteristik kejahatan siber adalah:
1.         Perbuatan anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi informasi tanpa batas.
2.         Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi. Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet.
3.         Perbuatan tersebut merugikan dan menmbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta bertentangan dengan moral masyarakat
4.         Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum.
c. Masaki Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional, untuk menganalisa permasalahan dalam cyber jurisdiction.
1) Yurisdiksi legislatif  (Jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi legislatif adalah wewenang negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan keadaan yang ada . Dalam keterkaitannya dengan internet, muncul pertanyaan ialah negara mana yang berwenang terhadap kegiatan atau orang di dunia cyber?.Menimbulkan suatu permasalahan yaitu “choice of law”. 
2) Yurisdiksi untuk mengadili ( Jurisdiciton to adjudicate)
Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk melakukan proses pemeriksaan pengadilan , dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul adalah “choice of forum”.
3) Yurisdiksi untuk melaksanakan  (Jurisdiction to enforce)
Yurisdiksi untuk melaksanakan berhubungan dengan wewenang suatu negara untuk melakukan penghukuman terhadap terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui pengadilan atau melalui tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif).

Ø  Saran
Dari berbagai upaya yang dilakukan, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
  1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
  2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
  3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
  4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
  5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.
 






DAFTAR PUSTAKA

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001. “Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban”, Jakarta.

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)”. Jakarta: PT. Refika Aditama, 2005.

Safitri Indra, “Tindak Pidana di Dunia Cyber” dalam Insider, Legal Journal From Indonesian Capital & Investmen Market. Pada Webssite:

http://business.fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012 Pukul 12.47  WITA.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005. “Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga”. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

http://www.fbi.org/ dan www.kpu.go.id. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012 Pukul 13.05 WITA.

Atmasasmita Romli, 2006. “pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, edisi kedua”. Jakarta: Prenada Media.


1 komentar: