Sabtu, 16 Maret 2013

My lovely family....(Care groups for ever)






masalah pertanian dan pangan



Kata Pengantar

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas penyertaan-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah Sistem Ekonomi Indonesia “Masalah Pertanian dan Pangan” dengan baik.
Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada dosen pengasuh mata kuliah yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam proses pembuatan makalah ini hingga selesai, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan penulisan berikutnya. Atas perhatiannya diucapkan terimakasih

                                                                                                               


Kupang, Oktober 2012

Penulis





Bab. I
Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang
Pembangunan di bidang pertanian adalah suatu hal yang tidak dapat di tawar-tawar lagi, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras dan bekerja di sektor pertanian. Kebijakan pembangunan di sektor pertanian ini sebenarnya sudah dimulai Plan Mengatur Ekonomi yang diketuai Wakil Presiden Mohamman Hatta, sampai Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) pada era reformasi saat ini.
Pada rencana Kasimo misalnya, hal yang menjadi prioritas adalah penyediaan pangan. Dalam rencana Kasimo ini yang menjadi tujuan utamanya adalah bagaimana memecahkan persoalan untuk mencapai sawasembada pangan. Menurut rencana Kasimo, swasembada pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi dengan menggunakan bibit unggul, maupuin dengan usaha ekstensifikasi yaitu dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur yang masih banyak di luar pulau Jawa.
Jadi penjelasan akan seputar berbagai kebijakan di bidang pangan yang meliputi panca usaha tani dan pentingnya swasembada pangan dalam pembangunan, serta peranan Bulog sebagai penyangga stabilitaas pangan di Indonesia.

1.2.       Tujuan
Ø  Pembaca dapat mengetahui kebijakan pemerintah di bidang pertanian dan pangan
Ø  Pembaca dapat memahami pentingnya swasembada pangan dalam pembangunan
Ø  Pembaca dapat memahami tentang panac usaha tani dan swasembada pangan (beras)
Ø  Pembaca dapat mengetahui tentang peranan Badan Urusan Logistik
Ø  Pembaca dapat memahami pentingnya tanaman industri sebagai pendukung sektor pertanian.


Bab. II
Pembahasan

A.      Kebijakan Pangan
Kebijakan di bidang pangan pada awal masaa oorde baru, seperti diungkapkan pada Pelita I memberi tekanan pada bidang industri dan konsumsi beras. Pada waktu itu kebijakan beras identik dengan kebijakan pangan. Alat-alat kebijakan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan alat-alat kebijakan pada masa sebelumnya. Perbedaannya terletak pada perencanaan yang lebih baik, keahlian yang makin mantap dan konsistensi dalam pelaksanaan alat-alat kebijakan tersebut.
Pada tahun 1970-an setelah mngalami pertumbuhan perekonomian yang pesat, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit pada kebijakan pangan, sebagai konsekuensi keberhasilan kebijakan beras dan pembangunan ekonomi. Pada Pelita III kebijakan swsembada beras diganti dengan kebijakan yang lebih luas yaitu swasmbada di bidang pangan.
Hasil yang dicapai pada akhir tahun 1976 adalah kenaikan produksi pangan, terutama penghasilan perhektar dan pemasarannya. Penggunaan teknologi dan bibit unggul yang mengakibatkan peningkatan produksi padi telah menimbulkan harapan baru akan tercapainya swasembada beras (swasembada beras dicapai pada tahun 1984). Setelah tercapai swasembada beras dan laju produksi yang semakin lambat, maka pada Pelita III tujuan swasembada beras diganti dengan tujuan swasembada pangan, dengan sasaran utama daerah pertanian di luar pulau Jawa. Perubahan strategi ini memerlukan perubahan-perubahan sasaran di bidang penelitian pangan, pola konsumsi dan sistem pemasaran.

B.       Swasembada Pangan dalam Pembangunan
Pada PJP I sektor pertanian merupakan prioritas pembanguna ekonomi. Pertumbuhannya mencapai 3,6 % pertahun. Kemajuanmenonjol pada PJP I adalah swasembada beras pada tahun 1984. Samapai pada tahun 1990 sektor pertanian sebagai penyumbang utama PDB (Product Domestik Bruto). Namun sesudah itu posisinya digantikan oleh sektor industri pengolahan. Hal ini sangat memprihatinkan, bukan karena sektor perta ian tidak berkembang, melainkan besarnya proporsi tenaga kerja yang bekerja pada sektor tersebut.
Sampai pada tahun 1999 sektor pertanian menyerap hampir separuh tenaga kerja yang ada. Hal ini berarti ada pnurunan dibandingkan dengan tahun 1992 yang mencapai separuh lebih. Ddisamping itu kualitas sumber daya manusia yang bekerja di sektor pertanian relatif rendah, sehingga produktifitasnya rendah. Dengan demikian pendataannya juga rendah. Samapai dengan tahun 1999 sektor pertanian menyumbang tenaga kerja 38,4 juta (43,2 %) atau turun 10,6 % dibandingkan dengan tahun 1992 (53,60 %).
Sedangkan sumbangan dalam pembentukan PDB menurut harga yang berlaku sebesar 19,5 %, berarti setiap 1 % tenaga kerja hanya menyumbang sekitar 0,36 % PDB. Sedangkan pada negara-negara maju (G-7) sektor pertanian hanya menyerap 2 % tenaga kerja tetapi dapat menyumbang 3 % PDB. Hal ini berarti setiap 1 % tenaga kerja di bidang pertanian dapat menyumbang 1,5 % PDB atau dua kali lipat dari produktivvitas tenaga kerja pertanian kita (Indonesia).
Selain mampu menyumbang PDB dan penerapan tenaga kerja, swasembada pangan juga mendorong pertumbuhan industri di luar sektor pertanian yanitu sebagai penopang penyediaan bahan baku industri (bahan mentah). Disamping itu juga kesejahteraan petani yang meningkat, dengan demikian permintaan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidup juga semakin meningkat. Termasuk kebutuhan alat-alat untuk industri pertanian sampai kebutuhan rumah tangga lainnya. Disamping hal-hal tersebut diatas, swasembada pangan sangat penting untuk menghadapi terjadinya krisis ekonommi dunia. Dan disisi lain karena kebutuhan akan pangan terpenuhi maka kualitas gizi masyarakat menjadi lebih baik. Yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan stabilitas ekonomi nasional.

C.      Panca Usaha Tani
Kebijakan pangan pada masa orde lama, dilaksanakan dengan istilah Program Kesejahteraan Nasional (1952) yang bertujuan mencapai swasembada beras sebelum tahun 1956 yaitu dengan pendekatan penyuluhan dan percontohan. Pendekatan ini mendekati penyuluhan pemerintah Hindia Belanda, yang disebut oleh-oleh yang bertujuan menyebarluaskan cara-cara bertani yang lebih baik. Sedangkan program Bimas (bimbingan masyarakat) mencakup dan menyempurnakan pendekatan penyuluhan dan percontohan ini.
Prgram ini dimulai pada tahun 1963, yaitu berupa program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakultas Pertanian UI (kemudian menjadi IPB Bogor), sebagai inspirasi berkembangnya program bimas.program ini memberikan kerangka organisasi prorgam intensifikasi produksi padi yang dilaksanakan secara besar-besaran selama 10 tahun pertama Orde Baru. Pada tahun 1964, program Bimas diperluas dan menjadi terkenal dengan semboyan Panca Usaha Tani, yaitu lima cara kearah usaha tani yang baik. Kelima cara tersebut adalah:
a)        Penggunaan dan pengendalian air yang lebih baik
b)        Penggunaan bibit pilihan (bibit unggul)
c)         Penggunaan pupuk dan pestisida yang seimbang
d)        Cara bercocok tanam yang baik
e)         Koperasi yang kuat

Pengalaman-pengalaman masa lampau banyak memebrikana pelajaran kepada kita mengenai cara-cara meningkatkan produksi beras. Kemudia cara-cara ini diambil alih untuk dikembangkan dan disempurnakan oleh pemerintah orde baru. Dan semboyan Panca Usaha Tani tetap menjadi pegangan kebijakan selama pemerintahan orde baru.

D.      Peranan Badan Urusan Logistik (BULOG)
Masa depresi pada tahun 1920-an merupakan awal kebijakan pengendalian langsung harga beras. Pada awal tahun 1933, impor beras dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggalakan perdagangan beras antar pulau dan antar propinsi dengan tujuan agar daerah-daerah yang kekurangan beras diluar Jawa memperoleh tambahan beras dari daerah-daerah surplus seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Kebijakan baru ini kemudia berkembang kearah pengawasan langsung ke perusahaan penggilingan beras agar tidak mengakibatkan hal-hal yang mengakibatkan goyahnya harga beras lokal. Menjelang tahun 1939 makin terasa perlunya dibentuk suatu badan pemerintah khusus untuk melaksanakan dan mengawasi kebijkkana pemrintah yang begitu luas dalam pemasaraan beras. Maka pada awal bulan April 1939 dibentuklah Stitching Het Voedings Midlenfods (VMH). Badan ini merupakan cikal-bakal dari Bulog, yang merupakan badan pengendalian di bidang pangan yang sanagt penting pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pandangan pemerintah Belanda (juga menjadi pandangan berbagai rezim pemerintahan di Indonesia setelah merdeka) bahwa masalah beras sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintahan. Pada tahun 1966 (awal Orde Baru) dibentuk Kolognas, yaitu suatu badan yang ditugasi menangani masalah logistik ditribusi barang-barang kebutuhn pokok, dan tugas tambahan menyalurkan dana kepada peserta Bimas melalui Gubernur dan Bupati.
Selama tahun 1966 harga beras naik 300 %, tetapi dengan makin mantapnya pemerintahan Orde Baru, maka Kolognas dibubarkan pada tahun 1967 diganti dengan BULOG (Badan Urusan Logistik) yang ditugasi mengelola persediaan pangan dan bertanggung jawab kepada presiden. Kebijakan pangan, khususnya terhadap padi/beras merupakan salah satu unsur penting dalam stuktur anggaran pemerintah. Kebijakan tersebut antara lain  meliputi pemberian subsidi atas harga pupuk, penyediaan kredit, penetapan harga gabah, serta berbagai mekanisme kelmbagaan.
Untuk pengadaan dan pengendalian pangan ini pemerintah menyerahkan pengelolaannya kepada Bulog. Badan ini juga menangani urusan distribusinya, termasuk melakukan operasi pasar jika terdapat kecenderungan harga beras/padi tidak stabil. Bulog tidak hanya menangani beras, tetapi juga berbagai bahan kebutuhan pokok seperti gula, terigu, minyak goreng, dan lain-lain (sembilan bahan pokok).
Tugas utama Bulog pada dasarnya dalah menjamin harga pembelian gabah pada tingkat produsen agar tidak jatuh dibawah hargaa yang di tetapkan. Dalam pengendalian beras, Bulog bekerjasama dengan KUD untuk membeli gabah dari petani produsen. Disisi lain KUD mempunyai peran sebagai penyalur benih padi (bekerjasama dengan PT. Sang Hyang Seri), pupuk dan obat-obatan (pestisida). Seiring dengan berjalannya waktu maka peranan Bulog mengalami pergeseran pada masa krisis ekonomi (1997) sampai sekarang. Dimana selama ini BULOG memegang monopoli dalam pengadaan dan pengendalian pangan, khususnya sembilan bahan pokok, perannya dikurangi.
Sekarang peran BULOG hanya mengelola hasil pertanian beras saja, dan bahkan kelembagaan BULOG mengalami perubahan, yang tadinya merupakan badan penyangga pangan, kemudian berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen pada tahun 2003 ini diubah lagi menjadi perusahaan umum (perum) yang usahanya khusus menangani pengadaan pangan.






E.       Tanaman Industri
Tanaman industri merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian Indonesia adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil perkebunan yang selama ini menjadi komoditas ekspor komersial terdiri dari karet, kelapa sawit, teh, kopi dan tembakau. Dan masih banyak lagi hasil tanaman perkebunan yang diekspor, namun jumlahnya relatif kecil. Penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan adlah karet, kopi, kakao, dan cengkeh.
Pengembangan tanaman indutri dilaksanankan dengan empat pola pada pengembangannya yaitu:
1.         Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan usaha antara perkebunana rakyat sebaga plasma dn perkkebunan besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh rangkaian kegiatan agribisnis. Pelaksanaannya dilakukan dengan memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat pada areal bukaan baru.

2.         Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP)
Pola UPP adalah pengembangan dengan pendekatan terkonsentrasi pada lokasi tertentu yang menangani keseluruhan rangkaian proses agribisnis. Pelaksanaan pola UPP ini ditempuh melalui pengembangn perkebunan yang sudah ada.

3.         Pola Swadaya
Pola ini ditujukan untuk mengembangkan swadaya masyarakat petani perkebunan yang sudah ada diluar wilayah kerja PIR dan UPP.

4.         Pola Perusahaan Perkebunan Besar
Pola perkebunan besar ini diarahkan untuk meningkatkan peranan pengusaha besar, berupa BUMN/BUMD, perusahaan swasta nasional maupun swasta asing.




Bab. III
Penutup

Ø  Kesimpulan
Peningkatan produksi tanaman pangan diupayakan melalui peningkatan produkvitas lahan serta perbaikan efisiensi pengelolaan. Sasaran utamanya adalah peningkatan produksi tanaman industri rakyat karena produktivitas dan hasilnya masih rendah padahal sebagian besar tanaman industri berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang kenaikan tanaman industri dibangun unit-unit pelayanan pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik agronomi; membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas pengolahannya. Sementara itu usaha ekstensifikasi tanaman industri dilaksanakan melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya dalam hal teknik agronomi, pengolahan dan pemasaran hasil produksinya.







Rabu, 13 Maret 2013

“ Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia”


Makalah
Sistem Ekonomi Indonesia



Oleh




Nama                                                 :              Apriana D.P. Laahana
Jurursan/Semester                 :              Administrasi Bisnis/III


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas penyertaan-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah Sistem Ekonomi Indonesia “Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia” dengan baik.
Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada dosen pengasuh mata kuliah yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam proses pembuatan makalah ini hingga selesai, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan penulisan berikutnya. Atas perhatiannya diucapkan terimakasih

                                                                                                               


Kupang, Oktober 2012

Penulis





Bab. I
Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang
Sistem ekonomi suatu negara sebagai bagian dari supra sistem kehidupan, berkaitan erat dengan sistem sosial lain yang berlangsung di dalam masyarakat. Di dunia ini ada kecenderungan bahwa sistem ekonomi suatu negara berkaitan dengan sistem ekonomi poitik di negara yang bersangkutan. Suatu negara yang beridiologi politik liberal, pada umumnya menganut idiologi ekonomi kapitalisme, dengan pengelolaan ekonomi berdasarkan mekanisme pasar. Sedangakn negara-negara yang beridiologi politik komunisme, idiologi ekonominya cenderung sosialisme, dengan pengelolaan ekonominya berdasarkan perencanaan terpusat.
Namun demikian, tidak ada suatu negarapun di dunia ini yang menerapkan secara mutlak kedua sistem ekonomi tersebut, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, RRC adan lain sebagainya, termasuk juga negara Indonesia. Negara Indonesia menganut sistem ekonomi campuran atau lebih tepatnya sekarang disebut denga sistem ekonomi kerakyatan (pancasila) yang mempunyai ciri yanag berbeda dengn kedua sistem ekonomi diatas. Sistem ekonomi kerakyatan merupaka adopsi dari kedua sistem ekonomi, yaitu sistem kapitalis dan sosialis yang disesuaikan dengan falsafah bangsa Indonesia, sehingga struktur perekonomian Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Hal ini sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang telah empat kali diamandemen.
Dari beberapa sistem ekonomi diatas mempunyai struktur yang berbeda terutama dalam penerapan di masing-masing negara. Struktur ekonomi tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan anatar lain tinjauan makro sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan kenegaraan, dan tinjauan birokrasi dan pengambilan keputusan.
Tinjauan makro sektoral dan tinjauan keuangan adalah merupakan tinjauan ekonomi murni sedangkan tinjauan kenegaraan dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan adalah tinjauan di bidang politik. Dengan melihat beberapa sistem ekonomi yang ada tersebut maka pada dasarnya suatu struktur ekonomi adalah merupakan penjabaran atau implementasi dari sistem-sistem ekonomi yang ada dengan tujuan untuk  meningkatkan (mewujudkan) kesejahteraan suatu negara melalui pembangunan ekonomi dan pertumbuhan pendapatan nasional, maka akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi.

1.2.      Tujuan
Ø  Pembaca dapat mengetahui teori terjadinya perubahan struktur ekonomi
Ø  Pembaca dapat memahami struktur perekonomian yang ada
Ø  Pembaca dapat memahami struktur perekonomian Indonesia
Ø  Pembaca dapat memahami perubahan struktur perekonomian Indonesia





















Bab. II
Pembahasan

A.     Perubahan Struktur Ekonomi
Teori perubahan struktur ekonomi menitikberatkan pada mekanisme transformasi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang yang semula bersifat subsistem dan menitikberatkan pada sektor tradisional menuju ke struktur lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri jasa.
Cheneri meminjam isttilas Kuznets, menatakan bahawa perubahan sturktur ekonomi, secara umum disebut sebagai transformasi struktur yang diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu sama lain dalam komposis agregat demand (AD), ekspor-impor (X - M), Agregat supplay (AS) yang merupaka produksi dan peng unaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan  modal guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ada dua teori utama yangumum digunakan dalam menganalisis perubahan sturktur ekonomi, yakni dari Arthur Lewis tentang migrasi dan Hollis Chenery tentang teori transportasi struktural. Teori Lewis pada dasarnya membahasa proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Dalamnya Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasranya terbagi atas dua, yaitu perekkonomian tradisional di pedesaan yang didominasi sektor pertanian dan perekonomian modern di perkotaan dengan industri sebagai sektor utama.
Karena perekkonomiannya masih bersifat tradisional dan subsistem, dan pertumbuhan pendudik yang tinggi, maka terjadi pertumbuhan suplai tenaga kerja. Over-Supplay tenaga kerja ini ditandai dengan produk marginalnya yang nilainya nol dan tingkat upah riil yang rendah. Keranka pemikiran Chenery pada dasarnya sama dengan teori model Lewis. Teori Chenery dikenal dengan teori pattern of development, dimana dalam teori ini difokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional ke industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitianya Chenery dan Syirquin mengidentifikasi bahwa dengan peningkatan perubahan pendapatan masyarakat per  kapita membawa perubahan ke arah konsumeristik dari penekanan pada makanan dan kebutuhan poko lainnya ke arah barang-barang  manufaktur dan jasa.
Perubahan struktur ekonomi berbarengan dengan petumbuhan PDB yang merupakan total pertumbuhan nilai tambah dari semua sektor ekonomi. Secara umum  dalam proses pembangunan terjadi transformasi ekonomi, dimana pangasa PDB dari sektor industri meningkat dan sektor pertanian mengalami penurunan.
Menururt Chenery, proses transformasi sturktural akan mencapai tarafnya yang paling cepat bila pergeseran pola permintaan domestik ke arah output industri manufaktur diperkuat oleh perubahan yang serupa dalam komposis perdagangan luar negri atau ekspor sebagaimana yang terjadi di negar-negara industri baru. Sperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hongkong.

B.     Struktur Perekonomian Indonesia
Menurut Dumairy struktur perekonomian suatu negara dapat dilihat dariu berbagai sudut tinjauan. Setidak-tidaknya struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut tinjauan, yaitu tinjauan makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan kenegaraan, dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan.
Tinjauan makro-sektoral dan keuangan merupakan tinjauan ekonomi murni sedangkan tinjauan kenegaraan dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan adalah tinjauan di bidang politik. Berikut penjelasannya:
·           Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Makro-Sektoral
Berdasarkan tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu negara dapat berstruktur agraris, industri, atau niaga. Hal ini tergantung pada sektor apa/mana yang dapat menjadi tulang punggung perekonomian negara yang bersangkutan. Dilihat secara makro sektoral dalam bentuk produk domestik bruto maka struktur perekonomian Indonesia dam[ppai tahun 1990-an masih agraris, namun sekarang sudah berstruktur industri.
Struktur perekonomian Indonesia yang industrialisasi pada saat ini sesungguhnya belum mutlak, tetapi masih sangat dini. Industrialisasi di Indonesia barulah berdasarkan kontribusi sektoral dalam membentuk PDB atau pendapatan nasional. Industrialisasi yang ada belum didukung dengan kontribusi sektoral dalam penerapan tenaga dan angkatan kerja. Apabila kontribusi sektoral dalam menyumbang pendapatan dan dalam penerapan tenaga kerja diperbandingkan, maka struktur ekonomi Indonesia ternyata masih dualisme.

Boeke seoang ekonom Belanda mengatakan bahwa perekonomian Indonesia berstruktur dualistis. Sebab dari segi penyerapan tenaga kerja dan sumber kehidupan rakyat (53,69%), sedangkan sektor industri pengolahan hanya menyerap 10,51% tenaga kerja.

·           Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Keruangan
Pergesern sturktur ekopnomi secara makro-sektoral senada dengan pergeserannya dengan keruanngan, ditinjau dari sudut pandang keruangan, struktur perekonomian telah bergeser dari struktur pedesaan menjadi struktur perkotaan. Hal ioni dapat kita lihat dan kita rasakan sejak Pelita I hingga era reformasi sekarang ini. Kemajuan perekonomian di kota-kota jauh lebih besar dibandingkan dengan di pedesaan., hal ini disebabkan pembangunan industri-industri pengolahan di daerah perkotaan dan juga makin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi.
Dengan demikian jumlah penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan menjadi lebih sedikit, hal ini bukan semata-mata karena perpindahan pendudik dari pedesaan ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik tetapi juga karena mekar dan berkembangnya kota-kota khusunya di pulau Jawa sehingga terjadi penumoukan penduduk disini. Disamping itu juga kehidupan masyarakat sehari-hari semakin modern yang tercermin dari perilaku konsumtif masyarakat dan juga penerapan teknologi modern untuk proses produksi oleh perusahaan-perusahaan.

·           Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Penyelenggaraan Kenegaraan
Struktur ekonomi dapat pula melihatnya dengan tinjauan penyelenggraan kenegaraan. Ditinjau dari sini maka struktur perekonomian dapat dibedakan menjadi struktur etatis, egaliter, atau borjuis. Predikat ini bergantung pada siapa atau kalangan mana yang menjadi pemeranm utama dalam perekonomian yang berangkutan, yaitu bisa pemerintah/negara, bisa rakyat kebanyakan atau kalangan pemodal dan usahawan.
Struktur ekonomi Indonesia sejak awal Orde Baru hingga pertengahan dasawarsa 1980-an berstruktur etatis dimana pemerintah atau negara dengan BUMN dan BUMD sebagai kepanjangan tangannya, merupakan pelaku utama perekonomian Indonesia. Baru mulai pertengahan dasawarsa 1990-an peran pemerintah dalam perekonomian berangsur-angsur dikurangi, yaitu sesudah secara eksplisit dituangkan melalui GBHN 1988/1989 mengundang kalangan swasta untuk berperan lebih besar dlam perekonomian nasional.
Struktur ekonomi ini arahnya untuk sementara adalah ke perekonomian yang berstruktur borjuis, dan belum mengarah ke struktur perekonomian yang egaliter, karena baru kalangan pemodal dan usahawan kuatlah yang dapat dengan cepat menanggapi undangan dari pemerintah tersebut. Maka akibatnya terjadi ekonomi konglomerasi dimana hanya beberapa orang pemodal kuat yang mengendalikan sektor-sektor ekonomi di Indonesia, yang dampaknya kita rasakan sekarang yaitu ambruknya perekonomian Indonesia karena tidak terkendalinya investasi-investasi yang dananya berupa pinjaman dari luar negeri.
Pada era revormasi ini struktur ekonomi Indonesia diarahkana pada strruktur ekonomi egaliter dimana seluruh penggerak roda perekonomian dilibatkan dalam membangun perekonomian Indonesia. Misalnya dengan memperkuat peran usaha-usaha koperasi, pengusaha mikro, kecil; dan menengah karena mereka dianggap pelaku-pelaku ekonomi yang tahan menghadapai krisis ekonomi, dan dianggap sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang mampu menjadi penyangga perekonomian Indonesia.
·           Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Birokrasi Pengambilan Keputusan
Struktur ekonomi dapat pula dilihat berdasarkan tinjauan birokrasi pengambila keputusan. Dilihat dari sudut tinjauan ini, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi yang terpusat (sentralisasi) dan desentralisasi.
Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan, dapat dikaikan bahwa struktur perekonomian Indonesia selama era pembangunan jangka panjang tahap pertama adalah sentralistis. Dalam struktur ekonomi yang sentralistis pembuatan keputusannya lebih banyak ditetapkan oleh pemrintah pusat atau kalangan atas pemerintahan. Pemerintah daerah atau kalangan pemerintahan dibawah, beserta masyarakkkat dan mereka yang tidak memiliki akses ke pemrintahan pusat, cenderungnya mereka hanya menjadi pelaksana saja, dan dalam pembuatan perencanaan hanya sekedar sebagai pendengar.
Struktur birokrasi pengambilan keputusan yang sentralistis ini terpelihara rapi selama pemerintahan orde baru,  hal ini disebabkan oleh budaya atau kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik. Walaupun Indonesia sudah merdeka stengah abad dan menuju era globalisasi namun budaya ini masih sulit untuk ditngalkan, dan bahkan cenderung dipertahankan.
Struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis berkaitan erat. Pemerintah Pusat menganggap bahwa Pemerintah Daerah belum cukup mampu untuk diserahi tugas untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Argumentasi yang sering dijadikan legitimasi adalah karena sebagai negara sedang berkembang yang barau mulai melakukan proses pembangunan. Sehingga dalam kondisi yang demikian diperlukan peran sekaligus dukungan pemerintah sebagai agen pembangunan, sehingga menjadikannya etatis, dan sekaligus dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Namun  demikian sejak awal pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJP II) struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis tersebut secara berangsur mulai berkurang kadarnya.
Keinginan untuk melakukan desentralisasi dan demokratisasi ekonomi makin besar. Perubahan rezim pemerintahan dari orde baru ke rezim pemerintahan era reformasi telah membawa angin segar bagi pemerintahan di daerah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Hal ini seiring dengan mulai diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan telah diubah menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan struktur perekonomian yang etatis menjadi egaliter, yang tadinya sentralistis menjadi desentralistis.













Bab. III
Penutup

Ø  Kesimpulan
Jadi ditinjau secara makro-sektoral struktur perekonomian Indonesia sesungguhnya masih dualistis. Hal ini dapat dilihat dari mata pencaharian utama sebagian besar penduduk masih sektor pertanian, yang berarti struktur perekonomiannya masih agraris. Tetapi penyumbang utama pendapatan nasional adalah sektor industri pengolahan, yang berati sturktur perekonomian industrial. Dengan demikian secara makro-sektoral perekonomian Indonesia baru bergeser dari strukturnya yang agraris menuju struktur yang industrial.
Pembangunan ekonomi memang senagaj diarahkan ke industrialisasi, tentu saja hal ini menguangi kadar agraris struktur perekonomian. Hal ini sudah menjadi konsensus nasional (GBHN 1999-2004). Namun yang disayangkan adalah belum semua lapisan atau golongan masyarakat siap menghadapinya. Akibatnya, ketika pemerintah mengajak masyarakat luas untuk bermitra dalam pembangunan, hanya mereka yang bermodal kuat dan pengusaha besar yang bisa berperan aktif dalam pembangunan, dan masyarakat terpaksa harus puas menjadi penonton dalam pembangunan. Jadi tidak heran jika struktur perekonomian kita dilihat dari kacamata politik, cenderung berstruktur borjuis.
Struktur perekonomian Indonesia yang tengah kita hadapi saat ini sesungguhnya merupakan suatu struktur yang tradisional. Sekarang kita sedang beralih dari struktur yang agraris ke struktur industrial; dari struktur yang etatis ke struktur yang borjuis; dari struktur pedesaan/tradisional ke struktur perkotaan.modern, sementara dalama hal birokrasi dan pengambilan keputusan sudah mulai desentralisasi.